Rabu, 25 Juli 2012

Saat Janna Bertanya, Aku Menjawab

“Emangnya mau turun dimana?” tanya seorang pemuda berambut plontos kepadaku

“Mau turun di daerah Pejaten, Jakarta Selatan,” jawabku

Walau duduk di bis bersebelahan, percakapan antara aku dan pemuda itu baru dimulai saat ada pertanda dariku yang masih belum akrab dengan daerah di Jakarta. Malam itu bus Prima Jasa telah keluar dari gerbang tol, awan sudah gelap bercampur asap kendaraan bermotor yang tak hentinya membentuk kabut penuh polusi.

Obrolan kami berlanjut, “Sebentar, Pejatennya yang mana dulu? Ada Pejaten Pasar Minggu soalnya banyak daerah Pejaten di Jakarta Selatan,” tanyanya lagi

“Pokoknya daerah Pejaten aja yang ada di Jakarta Selatan,” jawabku sambil tersenyum

Aku disarankan untuk turun di daerah Cilandak lalu naik KOPAJA P20 karena jarak darisana lebih dekat daripada harus turun di terminal Lebak Bulus. Tibalah aku di daerah Pejaten dengan mengendarai KOPAJA P20 dari kejauhan terlihat sebuah gedung dengan tulisan REPUBLIKA itulah kantor yang aku cari. Laju kendaraan tak hentinya bergerak cepat tidak ada celah untuk melintas bagi pejalan kaki kecuali saat lampu merah menyala. Panas bercampur polusi mengiringi setiap langkah kakiku. Jangan tanya berapa banyak gedung pencakar lakngiit, apalagi jumlah setiap lantainya karena semakin tinggi gedung itu dan megah maka semakin bernilai harganya.

Iqbal datang menyapaku bersama temannya Faisal setelah selesai meliput rapat sidang isbat di Kementrian Agama RI. Aku pulang ke kostan Faisal untuk beristirahat. Besok masih belum puasa karena keputusan bersama awal puasa jatuh pada hari Sabtu, 21 Juli 2012.  Jika awal puasa hari Sabtu bukan berarti tidak ada yang puasa hari Jumat. Muhammadiyah mulai puasa hari Jumat lebih awal dari biasanya. Aku memilih untuk mulai berpuasa hari Sabtu bersama Iqbal dan Faisal.

Sejak pagi Faisal dan Iqbal sudah pergi ke kantor REPUBLIKA karena harus bertemu dengan redaktur menanyakan bahan liputan hari ini. Jam masuk kantor di Jakarta berlaku mulai dari jam 09.00 pagi itu juga biasanya kantor masih sepi waktu tersita saat perjalanan menuju kesana.

“Oiya, tapi besok loe interview di Kemang ya, bukan di Buncit. Takutnya salah,” itulah isi sms yang aku baca kemarin malam yang dikirim oleh Zelva Wardi reporter Majalah Janna.

Mandi, makan siang, mempersiapkan diri lalu berangkat menuju Kemang dengan menggunakan jasa ojek. Panggilan wawancara kerja membuatku penasaran dan merasa tertantang. Apa yang akan ditanyakan nanti oleh mas Agung Vazza, Editor In Chief dari Janna. Janna sendiri terbilang majalah baru dengan konsep mengedepakan anak muda yang islami. Petunjuk dari Zelva kantor Janna ada di belakang McD Kemang berjajaran dengan ruko-ruko No. 12H.

Saat melihat kantor Janna, bayang-bayang ketidakpercayaan hilang terhapus oleh keberadaan kantor yang aku tuju. Konsep kantor majalah anak muda dihadirkan lewat desain minimalis dan elegan. Beragam cover setiap edisi di tempel di dingding kantor dibingkai pigura berkaca. Mas Agung Vazza masih belum ada di kantor, aku menunggu sambil menikmati teh hangat yang disajikan.

Tidak perlu menunggu lama tiba-tiba ada suara yang menyapaku “Hamdi ya, tunggu dulu ya sebentar,” mungkin itu orang yang datang untuk menanyaiku sesuatu.

“Tau majalah Janna darimana? Hamdi suka ngerokok gak, saya gak apa-apa kan ngerokok?” Mas Agung melempar pertanyaan pertamanya kepadaku.

Aku sudah menjadi pembaca Janna sejak awal-awal majalah ini muncul. Desain dan isinya yang beda dari majalah yang ada menjadi alasan kuat kenapa Janna selalu aku nantikan. Apalagi setelah ulang tahun pertama ada perubahan dari segi ukuran, desain, dan kertas itu menjadi kekuatan baru untuk Janna. Gaya hidup anak muda yang kreatif sudah mulai masuk lewat bahasan gadget, gaya hidup hijau, komunitas dan industri kreatif anak muda.

Pertanyaan tentang diri pribadi termasuk kuliah harus aku jawab. Pertanyaan tentang kesiapan kerja sebagai reporter juga ditanyakan. Apakah aku siap untuk pindah ke Jakarta? Jika siap mulai besok sudah bisa ikut kegiatan semacam absen, rapat, dll. Aku masih belum bisa menjawab, memang untuk saat ini mas Agung bilang pemberitaan Janna masih fokus di Jakarta belum di kota-kota lainnya bukan menutup kemungkinan kedepannya akan ada di setiap kota karena permintaan untuk itu sudah banyak. Darisana aku berpikir ketika ada di Jakarta harus ada yang ditinggalkan. Tugas akhir mahasiswa lebih dikenal skripsi. Jujur tanggungjawab terbesar buatku itu bukan karena tuntutan dari orangtua lebih karena memang itu tugas yang tak terhingga bagi mahasiswa sebelum lulus.

Kiranya cukup pulang dengan membawa pengalaman, nasehat, stiker, dan majalah Janna edisi baru. Tidak lupa ucapan terima kasih kepada office boy atas sajian teh hangatnya. “Janna butuh orang-orang kayak Hamdan ini yang suka nulis dan mau belajar,” pesan itu menjadi gas pembakar buatku untuk kembali pulang ke Bandung esok hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar