Selasa, 25 Desember 2012

Kematian

Belum hilang dari ingatanku waktu hari kemarin paman masih mengenali satu persatu wajah saudara yang berkumpul pada waktu itu. Kondisinya belum juga membaik kedua kakinya bengkak seperti disengat jutaan lebah. Tubuhnya lemas dan sedikit kesulitan dalam hal bicara. Ayahku duduk disampingnya, memberikan semangat dan harapan kalau penyakitnya bisa sembuh. Kedua mata pamanku terus memandang ke arah jaket hitam yang digunakan oleh ayah. Sepertinya jaket itu begitu menggugah dirinya sampai-sampai mulutnya tertatih untuk mengucapkan sesuatu.

"A cing abdi hoyong nyobian jaket teh," katanya pada ayahku.

Ayah melepas jaket hitamnya perlahan-lahan lalu setelah menanggalkan dari tubuhnya, ia membantu memakaikan jaket itu di tubuh paman.Aku menyaksikan belaian kasih sayang seorang kakak kepada adiknya. Wajah paman terlihat bahagia setelah mengenakan jaket hitam milik ayah. Sesuai kesepakatan seluruh keluarga pada hari Senin paman akan dibawa berobat ke rumah sakit di Bandung. Rumah sakit di tempat pamanku tinggal sudah tidak sanggup lagi menangani penyakitnya.

Selama sakit istri pamanku setia merawat, tidak pernah terpancar sama sekali keluhan dari wajah cantiknya. Tiada hari tanpa cinta dan kobaran semangat dari istrinya. Waktu sudah mulai sore, hari esok ayah harus bekerja kembali. Dengan berat hati aku, adik perempuanku dan ayah berpamitan pergi meninggalkan paman. Senyum kesedihan tampak jelas di wajah pamanku. Sebelum pergi satu persatu dari kita diberinya senyuman, aku tahu paman ingin kembali sehat dan tidak lagi merepotkan orang lain.

Kita bertiga sudah sampai rumah, ayah berharap dengan membawa paman berobat ke Bandung kondisinya bisa lebih baik. Setidaknya kakinya tidak bengkak lagi dan buang air kecil bisa lancar. Hari Senin ini, aku pergi meninggalkan rumah menuju ke kampus. Kabar dari bibiku paman akan berangkat ke Bandung di waktu siang.

Selasa siang ayah meneleponku, katanya paman sudah ada di Bandung. Ia belum dirawat dirumah sakit sekarang masih tinggal dirumah om Kudus. Rumah sakit advent di Bandung harganya terbilang mahal dan tidak bisa menggunakan kartu Askes. Untuk itu paman akan dirawat di rumah sakit Hasan Sadikin Bandung. kata ayah mengakhiri percakapan singkatnya denganku. Ayahku berpesan untuk menyempatkan diri menengok paman di rumah sakit.

Melihat cuaca yang begitu cerah, siang menjelang sore aku pulang ke rumah. Siang terasa menyengat kulitku ditambah polusi dari asap kendaraan bermotor dan debu jalanan. Perjalananku terasa cepat, kini aku sudah sampai ke rumah disambut senyum rindu dari ibuku. Ayah tidak pulang hari itu karena sedang menjaga paman di rumah sakit. Aku mengobati kelelahanku hari ini dengan tidur. Selamat merajut mimpi kataku berucap dalam hati.

Tidur itu sebuah kenikmatan tidak berasa. Jangan pernah membawa banyak pikiran ketika tidur kelak itu bisa membangunkanmu. Malam sudah habis dan mulai terasa kenikmatan pagi biasanya menjelang subuh ibu sudah membangunkanku. Tiba-tiba ada suara menghentak tangga rumahku. Apakah ini sebuah pertanda sesuatu sedangkan tubuhku masih terlentang bebas di atas kasur.

"Aa bangun si mang cepi meninggal," kata-kata itu kelar dengan cepat dan jelas dari suara yang aku kenali.

Seketika aku terperanjat dan kaget mendengar kabar itu. Seakan masih tak percaya tapi tidak mungkin itu sebuah pesan kebohongan mulutnya mengalir mengucapkan kata "Innalillahi wa inna ilaihi rajiun," kataku.

Hari Kamis pagi keluargaku diselimuti oleh duka mendalam atas meninggalknya paman. Dalam sadarku aku bertanya, Tuhan mengapa kau panggil pamanku begitu cepat?. Aku, adik perempuanku dan ibu bergegas meninggalkan Bandung dengan membawa pakaian ganti secukupnya. Kami bertiga berharap semoga paman belum menyatu bersama tanah di liang kubur.

Suasana duka pekat terasa ketika kami bertiga sampai di rumah paman. Ada tangis dan haru dari setiap wajah saudaraku dan warga sekitar kampung yang melayat. Aku mendekat ke tempat pemandian jenazah, aku melihat wajah paman pucat dan matanya terpejam tenang. Kesedihan mendalam tentu saja sedang dirasakan oleh bibi dan anak mereka berdua yang ditinggalkan.Paman dan bibi dikaruniai tiga orang anak dua orang lelaki dan satu orang perempuan.

Selesai dimandikan jenazah pamanku dibawa masuk ke rumah. Sekujur tubuhnya mulai dipasangkan kain kafan putih. Air mata kesedihan di tempat itu belum juga mengering semua mencoba untuk tabah dan berserah diri pada Tuhan. Jenazah paman sudah harum wewangian surga selanjutnya siap untuk di shalatkan.

Keranda jenazah diangkat oleh beberapa warga, paman akan dimakamkan di tanah dekat rumahnya. Aku dan saudara lainnya berada di barisan depan mengiringi jenazah ke tempat pemakanan. Doa demi doa terus dipanjatkan semoga semua amal ibadah pamanku diterima di sisi Tuhan pemilik alam semesta. Paman berasal dari tanah dan pada akhirnya akan kembali juga ke asal. Inilah kematian tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan datangnya semua hanya menjadi rahasia Tuhan.

1 komentar: